25 tahun sejak penangkapan Pangeran Diponegoro oleh De Kock, pahlawan Goa Selarong ini menghembuskan nafas dalam kesunyian benteng . Jauh dari kerumunan sanak dan para pengikutnya. Ia wafat pada hari Senin 8 Januari 1855, dalam usia 73 tahun (versi lain usia 69 tahun). Jenazahnya di kuburkan di luar benteng Rotterdam, di kampung Melayu sebelah utara Ujungpandang (sekarang Makasar).
De Kock menjauhkannya dari peradaban pasca perang Jawa. Perang yang menaikkan citranya, dari sekedar bangsawan Mataram, menjadi messiah tanah Jawa. Memimpin perlawanan terbesar sepanjang sejarah kolonialisme Hindia Belanda di tanah Jawa, Sekaligus perang yang menghabiskan pundi-pundi kerajaan Belanda. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Sedangkan hampir separuh masyarakat Yogya berkurang dalam kurun 5 tahun peperangan.
Pangeran Diponegoro bernama asli pangeran Ontowiryo. Bangsawan kraton sekaligus berdarah ulama. Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Meskipun ditawari menjadi raja oleh ayahnya, Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo, tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng, daripada di keraton. Disanalah Ontowiryo muda dibesarkan dalam kesederhanaan tradisi pesantren yang sarat dengan nilai budi dan kemanusiaan.
Hari ini, tepat 157 tahun meninggalnya Diponegoro. Nama yang pernah menggetarkan tanah Jawa sepanjang 350 tahun kolonialisme Belanda ini hampir tak pernah terusik namanya. Makamnya yang jauh dari tanah lahirnya memungkinkan orang cepat melupakannya. Dia pernah diusik oleh puisi Chairil Anwar dan film yang diangkat di era ORBA. Setelah itu hanya sayup-sayup terdengar diantara lintasan buku sejarah atau nama jalan.
Diponegoro sunyi. Pahlawan, sering sendiri. Mereka bertahta kemenangan, tapi sepi dalam kesendirian peran. Mereka di puncak tanpa teman. Tersisih dari peran kebanyakan. Sedikit sekali tulisan yang menggambarkaan saat-saat terakhir pangeran Goa Selarong ini. Orang hanya tahu pengkhianatan De kock mengakhiri kebebasan Diponegoro.
Namun di beberapa pesantren tua, namanya masih sering disebut. Setidaknya setiap pergantian tahun, dimana buku kelas akhir memuat sejarah pesantren, maka nama Diponegoro melekat kuat begitu saktinya. Dari pesantren kembali ke pesantren, demikian semangat historis sang messiah ini. Tak banyak diketahui bagaimana para ulama dan kyai menjadi elemen penting pengikut Diponegoro. Padahal masa sebelumnya ulama dan keraton berbatas garis demarkasi gara-gara kedekatan keraton dengan kolonial yang dicap kafir. Dari penemuan Carey, diketahui pengikut Diponegoro terdiri dari berbagai elemen. Di samping prajurit yang dilatih militer, pasukan juga terdiri dari kyai dan ulama yang notabene mempunyai kemampuan ilmu kanuragan. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.
Yang menarik diungkap adalah perjuangan para ulama pasca perang Jawa tersebut. Beberapa pondok pesantren tua di Jawa, terutama Jawa Timur menyimpan kronik-kronik sejarah ini. Di Magetan, terdapat masjid kuno peninggalan pengikut Diponegoro yakni masjid KH Abdurrahman yang berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi. Seperti namanya, masjid KH Abdurahman didirikan oleh KH Abdurrahman pada tahun 1835 Masehi. “Waktu itu setelah kalah perang melawan penjajah Belanda, para pengikut Pangeran Diponegoro ini menyebar dan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat pendidikan dan perjuangan termasuk di masjid ini,” jelas keturunan kelima KH Abdurrahman, KH Gunawan Hanafi, kepada Tempo, Kamis (26/8).
Halnya sejarah pondok Tambakberas Jombang, juga tak bisa dilepaskan dari keterkaitan historis dengan perang Diponegoro. Sebab pendiri dan pembabat alas desa dan Pondok Tambakberas, kyai Abdus Salam atau lebih dikenal dengan sebutan mbah Soihah adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro.
Pada akhir perang, para kyai pengikut Pangeran Diponegoro berkumpul dan bersepakat untuk merubah arah perjuangan mereka. Dari perang fisik menjadi perjuangan di bidang pendidikan. Mereka berpencar untuk menyebarkan pendidikan Islam di berbagai penjuru mata angin. Satu komitmen mereka adalah adanya penanda di lokasi masing-masing sebagai perwujudan semangat persatuan dan perlawanan terhadap kemungkaran. Penanda itu adalah adanya 2 pohon sawo di depan tinggal masing-masing. Pohon sawo ini adalah filosofi dari kalimat “sawwu sufufakum” yang artinya” rapatkan barisanmu”.
Dari beberapa padepokan kecil, berkembang pesantren-pesantren tua di Jawa seperti pondok Pabelan Magelang, pondok Sabilil Muttaqin, Takeran, Magetan, pondok Hidayatuth Thullab Trenggalek, dan tentu saja pondok Tambakberas Jombang. Tak terhitung ribuan santri yang menjadi alumni dan kelak seharusnya meneruskan perjuangan Diponegoro, melawan penindasan dan kemungkaran. Karena begitulah semangatnya diwariskan.
Ninid Alfatih
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh 04.13
0 comments:
Posting Komentar