Dalam sejarah nasional Indonesia kita mengenal suatu periode yang disebut masa kolonial Belanda. Masa itu berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, yakni sejak awal abad XVII hingga pertengahan abad ke XX atau sejak berdirinya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) sampai berakirnya pemerintahan Nederlandssch Indie (1602 – 1942). Dari berbagai aktivitasnya baik tentang pemerintahan VOC maupun Nederlandsch Indie, mereka telah meninggalkan sejumlah jejak-jejak tertulis yang disebut dengan istilah Arsip Kolonial. Ada bermacam-macam arsip kolonial, di antaranya arsip VOC yang disebut dengan Indische Stukken, yaitu arsip yang dibuat dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintahan dan tanah jajahan yang pusat kedudukannya di Batavia (Jakarta sekarang). Arsip-arsip ini ada yang dinamakan Daghregister Van het Casteel Batavia, Resolution Van het Casteel Batavia, Notulen, Plakaatboeken, dan lain sebagainya (Mona Lohanda, 1998: 52).
Warisan arsip-arsip VOC tersebut saat ini ada yang disimpan di Arsip Nasional Jakarta dan juga ada yang di Algemeen Rijkarchief (ARA) di Den Haag, Belanda. Untuk memudahkan penggunaan arsip bagi para peminat/pengguna, telah dicoba menghimpunnya dalam buku-buku yang dinamakan Bronnen Publikatie. Salah seorang penghimpun itu diantaranya adalah J.K.J de Jonge dengan karyanya De Opkomst Van het Nederlandsch Gezag in Oost Indie sebanyak 13 jilid, meskipun lima jilid terakhir dikerjakan oleh orang lain karena yang bersangkutan keburu meninggal dunia (Mona Lohanda, 1998: 84). Karya De Jonge ini khusus menghimpun arsip-arsip VOC yang terdapat di ARA, Den Haag. Dalam jilid pertama hingga ke lima, De Jonge mengutarakan tentang berbagai aktivitas VOC di kawasan Nusantara, termasuk juga Malaka. Kurun waktunya yaitu dari tahun 1959 sampai 1610.
Salah satu arsip tergolong penting yang dimuat dalam jilid III dari karya De Jonge tersebut adalah sebuah perjanjian antara Sultan Aceh, pada waktu itu Sultan Ali Riayat Syah, dengan VOC yang diwakili oleh Olivier Van de Vivere. Perjanjian itu ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1607. Ada sebelas ketatapan yang telah dirumuskan dalam perjanjian tersebut secara garis besar yaitu Sultan Aceh membebaskan pajak-pajak yang seharusnya dikenakan kepada pedagang-pedagang Belanda selama mereka berdagang di Aceh. Selain itu, Sultan Aceh bersedia memberikan izin untuk membangun sendiri sebuah tempat tinggal di Aceh. Di tempat itu pula bila perlu orang-orang Belanda diperbolehkan membawa para ahli dan keluarga mereka ke negerinya. Orang-orang berbangsa Eropa lainnya, tanpa izin VOC (Belanda) tidak diperbolehkan berada di tempat itu. Sehubungan dengan isi perjanjian yang sangat menguntungkan VOC tersebut De Jonge berkomentar bahwa arsip perjanjian itu sungguh amat penting dan tidak pernah dijumpai di tempat lain di Indonesia. Selain itu, seandainya isi perjanjian sebagaimana tertuang di dalam arsip itu benar-benar terlaksana, maka pusat kedudukan Belanda di Nusantara mungkin tidak pernah didirikan di Batavia, tetapi di ibulkota Kerajaan Aceh (De Jonge: 51). Jika demikian halnya tentu perjalanan sejarah bangsa Indonesia juga akan lain ceritanya. Dalam hal ini kita tidak boleh menyesali, apalagi mengandai-andai, karena begitulah sejarah sekali terjadi ya sudah dan peristiwa itu tidak pernah terulang.
Sebagaimana disebutkan bahwa perjanjian itu ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1607 ketika Kerajaan Aceh berada di bawah pemerintahan Sultan Ali Riayat Syah alias Sultan Muda (1604-1607). Ketika itu Kerajaan Aceh dalam keadaan kurang menguntungkan. Sultan Ali Riayat Syah adalah sultan yang lemah, lebih-lebih karena adanya konflik intern di kalangan pejabat Kerajaan Aceh di samping juga terjadinya bencana alam yang dahsyat dan adanya ancaman dari piha Portugis yang berkedudukan di Malaka untuk menyerang Kerajaan Aceh. Kesemua menyulitkan posisi Sultan Ali Riayat Syah. Datangnya VOC ke Aceh dengan janji-janji akan membantu Aceh, menyebabkan sultan ini bersedia menandatangani perjanjian yang sangat menguntungkan pihak Kompeni (VOC).
Sultan Ali Riayat Syah meninggal pada April 1607 tiga bulan setelah menanda tangani perjanjian tersebut (T. Iskandar, 1966: 34). Ia digantikan oleh kemenakannya sendiri, yaitu Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat dengan gelar Sultan Iskandar Muda (Hoesin Djajadiningrat, 1911: 175). Ketika ia memerintah tindakan pertama yang dilakukan dalam kaitan dengan policy kerajaan, yaitu membatalkan kembali atau tidak mengakui lagi perjanjian yang telah ditandatangani oleh Sultan Ali Riayat Syah dengan Kompeni Belanda (VOC). Karena ia anggap perjanjian itu sangar merugikan pihak Aceh. Akibatnya semua ketetapan yang telah disepakati seperti tertuang dalam perjanjian itu menjadi batal alias tidak terlaksana.
Salinan arsip tentang perjanjian antara Sultan Ali Riayat Syah dengan Olivier Van Vivera yang mewakili VOC pada tanggal 17 Januari 1907 adalah sebagai berikut
ACCORDT GEMAECKT TUSCHEN DEN VICE –ADMIRAEL OLIVIER VAN DE VIVERE, UYT DEN NAME EN DE VAN WEGEN DE ED. MOG HEEREN STATEN GENERAL DER VEREENIGHDE CORNICK VAN ATCHIN TER ANDERE SYDE, DESEN 17 DEN JANUARI VAN ‘T JAER ONSES HEREN, JESU CHRISTY 1607 IN DE STADT ATCHIN. 1
1. In de eersten, also noodig in dat heren staten voor hare capiteynen tot bewordering van degotic van deselve ini oost Indie eene verzekerde en de vaste plaetse hebben, om hare goederen, koopmanschappen en de aumunitie voor oorloge, als goschut, roers, harnassen, spiesan, kruydt, loodt, lonten, kabels, aldehande touwerch, balchen, planchen, arpuys, teer, peck en den andersins te verzamelen en de bewaren, oock des noods zynde ambaghuyden, en de huysgezinmen te mogen brengen uyt haer landt, zal zyne maje-steyt geven alsulcke plaettse als zy zullen begeeren, tzy hier ofte in eenighe laylanden, onder het gebiet van zyn majesteyt wesende, soogroot offte cleyn als de heeren staten affle syne capiteynen sall goetdencken.
2. Alle coopmannschappen komende met natien in dese plactse onder het gebiedt van zyne majesteyt, als oock deselve binnen de landen van zyne majestet vallende zullen de vasalen van de heeren staten vrystaean deselde te mogen koopen neffens andere, zonder dat eenige vremdelingen, hetselve sullen mogen verbieden onder’t deck sel van zyner maysts last, waermede syne majesteyt en de d’onse bedrogen worden en de het vervreemding onder de natie mackt.
3. Sullen de vasalen van de heeren staten voorsz hare schepen en de goederen tzy van wat plactsen, dat sy komen sok wederon vorsonden, mogen disponeren, sonder datsyne majesteyt daer gets op sall te seggen hebben, nogh eenige toll daeraff te nomen, nogh nyt nogh in.
4. Sall ook syne majesteyt niet toelaten datter eenige holanders, Europische vollkeren offte nae (aen ?) komelingen in eenige ban zyne landen sullen mogen handelen offte sullen bescheydt van onsen Koningh moeten brengen en de het zelve niet hebbende sullen als vyanden gehouden en vervolght worden.
5. Sullende voors staten ook vermogen in alle des Konings landen hont te haelen en te howen tot bouwingh van de schepen en de nooddruftigheyt van haere woonplaets.
6. Soal oock geen van de beyde partyen pays maeken met den Koningh van Spaengien zonder breeder consent.
7. Soo wie eenige schandalen in eenighe religionssaeken geeft, die sall aengeklaeght en de gestraft worden by syne overkeyt, daer hy onder sorteert, soowel van d’eene als van d’andre syde.
8. Soo eenige persoonen van d’een en d’ander partyen, yets op anderen handden te seggen van schuldt en weder schuldt, ‘tzy door loonen offte coopmanschappen, hoo het zonde geschieden zall de Koningh gehouden wesen ten eersten versaeck van den aenk lager reght te doen.
9. Soo daer ymandt van d’ onse om eenigh quaedt rumoer by zyne majesteyt hulpe versaght tzy met loochenen van syn geloove offte andersins, om syn quaddt leven te bedecken, zal zyne majesteyt hun niet aeuhouden, maer geven hen ter bewaringh van de onse, om ter gelegener tyt zulcken straffe daerover te doen, datter een ander, exampel aen sall nemen.
10. Hieren tegen sullen de Heeren staten zyne majesteyt helpen met alle maght maer uytersten vermoghen on de Portugesen en Spangiaerden haeren bey der vyanden alle moghelyche affbrenck te doen, en de soo ymandt van de partyen, oorlogh aennam tegen ymandt onder als de Portugesen en de Spangiaerden, zall ‘dandere partye niet gehouden wesen deselve te assisteren, dan alleenlyck in defensie.
11. Syne majesteyt eenige wapenen uyt onse landen van doen hebbende, hoe die sonden mogen wesen, sullen deselve brenghen mits dat s Mayt ons, voor sooveel deselve in ons landt kosten (Uit het Register de Contracten D.J. berustende op het R. Arch).
Disalin berdasarkan karya D.J. Jonge, De opkomst Van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, III., hal. 223-225.
Daftar Bacaan
Mona Lohanda. 1998 Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah. Depok Pusat Penelitian dan Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
D.J. Jonge, De opkomst Van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, III., hal. 223-225.
Nurruddin Ar-Raniry. 1966. Dalam Bustanus Salatin. Disusun oleh T. Iskandar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
R.A. Hoesin Djajadiningrat, “Critisch Overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenies van het soeltanaat van Atjeh”, BKI 65. 1911.
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh 15.17
0 comments:
Posting Komentar