TANTANGAN ALLAH SWT
Setidaknya, untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran Al Quran, Allah SWT azza wa jalla tak segan menantang dengan jelas semua makhluk untuk:
1. Menyusun yang semacam Al Quran secara keseluruhan
QS Ath Thuur ayat 34 (QS 52:34): Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar
2. Menyusun sepuluh surat saja semacam Al Quran
QS Huud ayat 13 (QS 11:13): Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”
3. Menyusun satu surat saja semacam Al Quran
QS Yunuus ayat 38 (10:38): Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar.”
4. Menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan salah satu surat dari Al Quran
QS Al Baqarah ayat 23 (02:23): Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah [1] satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
[1] Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.
Di dalam Al Quran, sebagaimana berbagai ciptaan Allah SWT dalam khazanah pembagian yang Kauniyah (tersirat) dan yang Qauliyah (tersurat), maka sungguh terkandunglah berbagai rahasia, makna, aturan, ilmu-pengetahuan, perjanjian, hukum, bahkan insya Allah kekuatan rahasia, dan sebagainya yang kiranya tak diketahui manusia; yang juga tersirat (dan bahkan tidak terlihat, ghaib, atau belumlah lagi/tidaklah diketahui) maupun yang tersurat (yang dapat terlihat jelas).
Berbagai hal itu, bahkan baru dapat diungkapkan jauh berabad-abad setelah turunnya Al Quran, dan bahkan hingga kini, masih banyak hal yang belum dapat ditafsirkan oleh manusia dan jin dengan segala ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya. Jelas diterangkan bahwa ada ayat-ayat yangmutasyabihaat (memerlukan penafsiran dan penjelasan lebih lanjut) dan muhkamaat (sudah jelas):
QS Aali Imraan ayat 7: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat [1], itulah pokok-pokok isi Al Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat [2]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
[1] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[2] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Adalah mungkin saja, seseorang atau bahkan segolongan Manusia dan Jin, membuat rangkaian syair berbahasa Arab, seindah yang dapat dibuatnya dan kemudian dikatakannya pula sebagai ayat kitab suci, bahkan dikatakannya adalah sebagai tandingan Al Quran.
Namun semua ini, tentulah adalah hanya kata-kata, dan bahkan kalaupun ada hikmah di dalamnya.
Apakah ia atau mereka dapat kiranya menjamin bahwa apa yang mereka buat itu, mengandung berbagai rahasia dunia-akhirat? Masa lalu dan masa depan?
Maka mengenai ini, bahkan kepada para makhlukNya ini, Allah SWT tetap menantangnya untuk membuat yang serupa, yang antara lain seperti jelas tertera di ayat-ayat tersebut di atas.
QS Al Israa’ ayat 38: Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.
QS Al Baqarah ayat 24: Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) – dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
QS An Nisaa’ ayat 82: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Marilah kita telaah lebih dalam.
Salah satu fenomena yang menarik, dalam berbagai penurunannya/pewahyuan Al Quran, seringkali pula berbagai ayat/surat dari Kitab Suci Al Quran diturunkan/diwahyukan secara ’spontan’, secara ”sekonyong-konyong”, ”tiba-tiba” (yang dalam hal ini sesungguhnya adalah dalam ukuran manusia, namun tidaklah demikian bagi Allah SWT sebenarnya), misalnya untuk menjawab berbagai pertanyaan, berbagai serangan dari musuh-musuh Islam saat itu, atau untuk mengomentari berbagai peristiwa, dan sebagainya. Hal ini dapat ditelaah dengan jelas dalam berbagai kumpulan kisah azbabun nuzul (sebab turunnya) berbagai ayat dan surat Al Quran, setidaknya saja.
Dan contoh yang cukup mudah serta populer adalah QS Surat Al ’Abasa, saat Rasulullah SAW ditegur karena bersikap lebih ramah kepada tamunya yang berasal dari golongan pembesar Quraisy, daripada tamunya yang lain yang berasal dari golongan sederhana (bahkan di surat itu dilukiskan sebagai orang ’buta’, entah benar-benar buta secara fisik, atau kiasan ’buta’ sebegaimana buta sopan-santun, buta tata-cara pergaulan tingkat tinggi, dan sebagainya).
Juga turunnya ayat langsung dalam menjawab doa-pertanyaan Rasulullah SAW dan sahabat Umar bin Khatthab R.A., akan keharaman minuman keras/khamr (yang saat itu adalah kegemaran bangsa Arab, bahkan bangsa Arab yang telah menjadi muslim termasuk sahabat Rasulullah SAW, Umar bin Khatthab R.A.) dalam QS Al Baqarah ayat 219 dan An Nisaa’ ayat 42 serta Al Maaidah ayat 90-91.
Namun, walaupun berbagai ayat ini turun dengan ‘tiba-tiba’, yang sungguh menakjubkan adalah bahwa setelah keseluruhan ayat Al Quran selesai diturunkan dan kemudian dilakukan penelitian terhadap berbagai hal berkaitan dengan/tentang Al Qur’an ini, sungguh ditemukanlah sejumlah kenyataan yang menakjubkan, yang tak mungkin dipikirkan, dirancang, dilakukan, diutarakan, dibuat oleh seorang manusia (Rasulullah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib SAW) bahkan bila dibantu oleh masyarakatnya ataupun dilanjutkan bergenerasi sesudahnya yang sudah lebih maju pengetahuannya.
Misalnya, tentang adanya berbagai rahasia/isyarat ilmu pengetahuan yang baru dapat dibuktikan berabad-abad kemudian, tentang kisah-kisah sejarah, tentang berita-berita ghaib (termasuk ramalan akan masa depan), tentang keseimbangan-keteraturan susunan redaksional Al Quran/keseimbangan-keteraturan susunan kata-katanya, dan sebagainya.
Semakin pula lebih menakjubkan, mendukung ini semua, adalah bila disadari kenyataan bahwa Rasulullah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib SAW adalah seorang manusia yang ummiy/tidak dapat membaca dan menulis (atau dalam bahasa Inggris: an illiterate person).
Dari siapakah kiranya Rasulullah SAW mendapatkan semuanya itu?
Tidakkah ini didapatkannya dari sebuah sumber Kecerdasan Yang Lebih Tinggi?
Lebih mudahnya, kita sebut saja sumber Kecerdasan Yang Lebih Tinggi itu sebagai, Tuhan?
Maka:
QS Al Baqarah 2: Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa
TIGA ASPEK PENDUKUNG KEOTENTIKAN AL QUR’AN
Dalam hal ini, setidaknya saja ada tiga aspek kuat yang mendukung keotentikan Al Quran al Karim, dan berikut ini adalah berbagai paparan bukti dari berbagai aspek itu.
I. Aspek keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya
Yang pertama, adalah aspek keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya. Abdurrazaq Nafwal dalam buku/kitab ”Al-I’jaz Al-Adabiy li Al Quran Al Karim” yang terdiri dari 3 jilid (terlepas dari berbagai pendapat pro dan kontra atau skeptis tentang isinya dan kemungkinan ketidaksempurnaan manusia penulisnya) mengemukakan berbagai contoh tentang keseimbangan ini.
Ringkasannya adalah:
1. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya (lawan katanya)
”Al Hayah” (hidup) dan ”Al Mawt” (mati), masing-masing sebanyak 145 kali
”Al Naf’” (manfaat) dan ”Al Madharrah” (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali
”Al Har” (panas) dan ”Al Bard” (dingin) masing-masing sebanyak 4 kali
”Al Shalihat” (kebajikan) dan ”Al Sayyi’at” (keburukan) masing-masing sebanyak 167 kali
”Al Thuma’ninah” (kelapangan/ketenangan) dan ”Al Dhiq” (kesempitan/kekesalan) masing-masing sebanyak 13 kali
”Al Rahbah” (cemas/takut) dan ”Al Raghbah” (harap/ingin) masing-masing sebanyak 8 kali
”Al Kufr” (kekufuran) dan ”Al Iman” (iman) masing-masing sebanyak 17 kali dalam bentuk definite
”Kufr” (kekufuran) dan ”Iman” (iman) masing-masing sebanyak 8 kali dalam bentuk indefinite
”Al Shayf” (musim panas) dan ”Al Syita’” (musim dingin) masing-masing sebanyak 1 kali.
2. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya
”Al Harts” dan ”Al Zira’ah” (membajak/bertani) masing-masing sebanyak 14 kali
”Al ’Ushb” dan ”Al Dhurur” (membanggakan diri/angkuh) masing-masing sebanyak 27 kali
”Al Dhallun” dan ”Al Mawta” (orang sesat/mati jiwanya) masing-masing sebanyak 17 kali
”Al Qur’an”, ”Al Wahyu”, dan ”Al Islam” (Al Qur’an, wahyu, dan Islam) masing-masing sebanyak 70 kali
”Al ’Aql” dan ”Al Nur” (akal dan cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali
”Al Jahr” dan ”Al ’Alaniyah” (nyata) masing-masing sebanyak 16 kali
3. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya
”Al Infaq” (infak) dan ”Al Ridha” (kerelaan) masing-masing sebanyak 73 kali
”Al Bukhl” (kekikiran) dan ”Al Hasarah” (penyesalan) masing-masing sebanyak 12 kali
”Al Kafiruun” (orang-orang kafir) dan ”Al Naar/Al Ahraq” (neraka/pembakaran) masing-masing sebanyak 154 kali
”Al Zakah” (zakat/penyucian) dan ”Al Barakat” (kebajikan yang banyak) masing-masing sebanyak 32 kali
”Al Fahisyah” (kekejian) dengan ”Al Ghadhb” (murka) masing-masing sebanyak 26 kali
4. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya
”Al Israf” (pemborosan) dan ”Al Sur’ah” (ketergesa-gesaan) masing-masing sebanyak 23 kali
”Al Maw’izhah” (nasihat/petuah) dan ”Al Lisan” (lidah) masing-masing sebanyak 25 kali
”Al Asra” (tawanan) dan ”Al Harb” (perang) masing-masing sebanyak 6 kali
”Al Salam” (kedamaian) dan ”Al Thayyibat” (kebajikan) masing-masing sebanyak 60 kali
5. Berbagai keseimbangan khusus
Kata ”Yawm” (hari) dalam bentuk tunggal, adalah sejumlah 365 kali (atau adalah sama dengan jumlah hari-hari dalam satu tahun) di dalam Al Qur’an.
Sedangkan kata ”hari” yang menunjuk kepada betuk plural (”Ayyam”) atau dua (”Yawmayni”), jumlah keseluruhannya dalam Al Quran adalah hanyalah 30 kali penyebutan, atau dalam hal ini adalah juga sama dengan jumlah hari dalam satu Bulan dengan mengikuti kaidah Kalender Qamariyah atau penanggalan sistem Bulan, sistem Islam/Arab.
Lalu, kata yang berarti ”Bulan” (”Syahr”) hanya terdapat 12 kali, atau sama dengan jumlah bilangan Bulan dalam satu tahun (12 Bulan) rotasi.
Ada 7 kali penjelasan tentang adanya 7 langit, yaitu antara lain dalam QS Al Baqarah ayat 29, QS Al Isra’ ayat 44, QS Al Mu’minuun ayat 86, QS Al Fushshilat ayat 12, QS At Thalaq ayat 12, QS Al Mulk ayat 3, QS Nuh ayat 15.
Selain itu, penjelasan tentang penciptaan langit dan bumi dalam enam (6) hari/masa/tahapan, disebutkan di dalam 7 ayat pula (dan tahapan terbentuknya sebuah galaksi-planet dalam enam (6) tahapan yang memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun ini, telah pula dibuktikan oleh ilmu-pengetahuan saat ini, bahwa memanglah secara umum pembentukan galaki adalah dalam enam (6) tahapan, bahkan saat inipun masih terbentuk Galaksi-galaksi baru, yang masing-masing dalam (melalui) enam (6) tahapan, dalam ruang angkasa yang bahkan memuai/meluas ini.
Angka 7 sendiri banyak sekali ditemukan di alam semesta, di Al Quran & di Hadits Nabi Muhammad bin Abdullah SAW. Bahkan pengulangan dari angka ini dalam Al Qur’an juga memunculkan sebuah sistem yang koheren. Beberapa fenomena angka 7 tersebut adalah, antara lain:
1. Merupakan jumlah dari tingkatan langit & bumi (QS:65;12).
2. Atom tersusun dari 7 tingkatan elektron.
3. Jumlah hari dalam satu minggu.
4. Jenis atau jumlah tanda (not dasar) musik.
5. jenis atau jumlah warna-warni pelangi.
6. Jenis dosa besar (HR Al-Bukhari & Muslim).
7. Tanda bagi siksaan pada Hari Kiamat.
8. Jumlah ayat dalam Surah Al Fatihah (“Tujuh ayat yang diulang-ulang”).
9. Muslim bersujud dengan menggunakan 7 anggota badan dalam Shalat.
10. Muslim melakukan Thawaf sebanyak 7 kali dalam ritual Haji.
11. Muslim melakukan Sa’i antara Shafa & Marwah sebanyak 7 kali dalam ritual Haji..
12. Melempar jumrah sebanyak 7 kali dalam ritual Haji.
13. Dalam kisah Nabi Yusuf (Josef) AS banyak menyebut angka 7 (QS:12; 46-48).
14. Kisah siksaan kaum Nabi Hud (Hood) AS ditimpa angin topan selama 7 malam (QS:69;6-7).
15. Kisah Nabi Musa (Moses) AS memilih 70 orang dari kaumnya untuk bertobat (QS:17;155).
16. Kata Kiamat disebut dalam Alquran sebanyak 70 kali.
17. Kata “Jahannam” (Neraka) disebut dalam Alquran sebanyak 77 kali.
18. Jumlah pintu-pintu “Jahanam” adalah 7 (QS:15;44).
19. Terdapat 7 surah yang diawali dengan kalimat tasbih.
Sebagai catatan pula, kata ”tujuh” (7) dalam Bahasa Arab juga dapat berarti ”banyak”, karena khazanah berpikir dan kebiasaan orang Arab lama/kuno (misalnya, orang-orang Arab di masa-masa itu saat diturunkannya Al Quran) yang menghitung jumlah tujuh (7) atau selebihnya, sebagai angka perlambang yang menunjukkan jumlah banyak atau bahkan tak terhitung (tak dapat dihitung) lagi (oleh mereka). Maka, sejumlah mufassir/penafsir Al Quran dan/atau ahli ilmu pengetahuan pun berspekulasi tentang telah disebutkannya tentang berbagai kenyataan akan adanya tak terhitung planet dan galaksi di luar bumi dalam Al Quran, dan bahkan kemungkinan adanya makhluk-makluk lain di alam semesta di luar Bumi dan sistem Solar (matahari) kita ini.
Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.
Berkaitan dengan dunia angka dan huruf (atau kata), juga ditemui distribusi Matematika di Al Quran, khususnya mengenai bilangan-bilangan prima dan beragam hubungan luasnya, dan banyak sekali misteri dan fenomena angka juga kata di Al Quran lainnya, di balik susunan, makna,dan kemungkinan-kemungkinannya dan tata bahasa Arab sendiri (dan Bahasa Sastra Arab yang digunakan di Al Quran) yang memang sudah luar-biasa itu.
II. Aspek bukti dari berbagai isyarat maupun pemberitaan ghaibnya
Lalu, kedua, ada pula aspek bukti dari berbagai isyarat maupun pemberitaan ghaibnya. Termasuk hal-hal yang pada masa diturunkannya Al Quran, adalah masih ghaib, tidak diketahui, dan berkaitan dengan banyak hal rumit.
Misalnya tentang berita tentang Fir’aun dan Nabi Musa AS, dan ditemukannya jenazah Fir’aun ini.
Maka disebutkanlah di Al Quran bahwa Fir’aun yang mengejar-mengejar Nabi Musa AS dan Bani Israil dalam perjalanan eksodus mereka keluar dari penindasan kerja-paksa Mesir berabad-abad, akan diselamatkan tubuhnya oleh Allah SWT, dan akan menjadi pelajaran bagi berbagai generasi berikutnya:
QS Yunuus ayat 92: Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu[1] supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.
[1] Yang diselamatkan Allah ialah tubuh kasarnya, menurut sejarah, setelah Fir’aun itu tenggelam mayatnya terdampar di pantai diketemukan oleh orang-orang Mesir lalu dibalsem menjadi Mumi, sehingga utuh sampai sekarang dan dapat dilihat di musium Mesir.
Maka, menurut berbagai kesesuaian sejarah, Raja Mesir/Fir’aun yang dimaksud di sini adalah Fir’aun Maniptah (Maneptah/Merneptah), anak dari Fir’aun Ramses II (Fir’aun yang mengangkat Nabi Musa AS sebagai anaknya dan juga menyiksa kaum Bani Israil), dan muminya ditemukan oleh Loret pada sekitar awal abad XIX (tahun 1896) di Thebes/Luxor, Lembah Kuburan Raja-raja Mesir (Wadi al Muluk). Setidaknya dua ahli telah meneliti muminya, yaitu Elliot Smith dan DR. Maurice Bucaille (yang terakhir ini kemudian menyatakan diri masuk Islam pada akhir penelitiannya, dan bahkan menulis sebuah buku yang cukup menggemparkan, berjudul ”BIBEL, QUR’AN & SAINS MODERN”, dan juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), dan penelitian keduanya beserta keterangan dari Maspero (seorang Perancis ahli ilmu Sejarah Mesir) sungguh menguatkan hal ini.
Di dalam Injil sendiri, di bagian Keluaran pasal 13, 14, 28 dan di Nyanyian (Psalm) 136 dari Daud, menguatkan pula bahwa, Fir’aun tersebut disebutkan mati tenggelam dalam pengejarannya kepada kaum Bani Israil yang sedang melakukan eksodus dari Mesir ke ‘Tanah Yang Dijanjikan’. Bahkan di Mazmur Daud no 136 dalam ayat 15 dari orang Yahudi, jelas menyebutkan pujian kepada “Tuhan yang telah membinasakan Fir’aun dan tentaranya dalam laut yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan”, sebagaimana kesesuaiannya pula dengan Kitab Keluaran (14, 28), “Air kembali pasang dan menenggelamkan kereta-kereta serta para penunggang kuda dari tentara Fir’aun yang telah masuk ke laut di belakang mereka (kelompok Yahudi). Tak ada seorang pun yang tetap hidup”.
Namun perihal diselamatkannya jasad Fir’aun itu, tidak disebutkan. Perihal ini, hanya disebutkan di Al Quran. Dan janji Allah ini, serta diketemukannya jasad Fir’aun itu, dikuatkan oleh ilmu-pengetahuan modern (atau lebih tepatnya, pasca-modern, jika merujuk pada pembagian masa berdasarkan sejarah Filsafat).
Yang paling penting kiranya dalam hal ini adalah, bahwa seorang manusia yang tak dapat membaca dan menulis dan hidup di tengah padang pasir Arab di Abad Ketujuh Masehi bernama Muhammad bin Abdullah SAW, yang oleh umat Islam diakui sebagai Rasul Tuhan terakhir dalam rangkaian para Rasul, Nabi, Utusan Tuhan; dalam keseluruhan masa kehidupannya tidak diketahui (setidaknya tidak pula ada bukti apapun berkenaan dengannya) bahwa beliau telah mengetahui bahwa semua jenazah para Fir’aun yang kemungkinan adalah Fir’aun yang dimaksudkan dalam kisah-kisah ini, disimpan di Luxor, baik sebelum atau sesudah ayat-ayat ini diturunkan.
Umat manusia secara umum pada waktu itu pun bahkan praktis tidak pula telah mengetahui apa-apa tentang adanya berbagai bangunan Pyramid itu, yang terpendam di dalam Sahara bermeter-meter dalamnya, sejak ribuan tahun sebelumnya, walaupun berada dekat sungai Nil yang ramai dilalui lalu-lintas perhubungan air. Barulah berabad-abad kemudian, pada abad XIX Masehi, berabad-abad setelah Al Qur’an diturunkan kepada alam semesta, ras manusia berhasil menemukannya melalui suatu ekspedisi Arkeologi Modern. Sementara kenyataan bahwa jenazah Fir’aun Maneptah ini akan ditemukan, telah disebutkan di Al Qur’an, berabad-abad sebelum jenazah/mumi itu ditemukan.
Dan sekarang, jenazah Fir’aun Maneptah akhirnya disimpan di Museum Mesir di Kairo di ruang Muminya, serta dapat dilihat oleh siapapun. Yang dapat ditarik kesimpulan dari penelaahan terhadap kondisinya, adalah adanya kerusakan tulang dan hilangnya substansi penting sebagian dari mumi Maneptah itu yang sangat fatal, walaupun memang belum dapat dipastikan apakah hal-hal tersebut terjadi setelah, atau sebelum matinya Fir’aun Maneptah ini (menurut riwayat kitab suci, Fir’aun meninggal karena tenggelam/trauma/keduanya).
III. Aspek adanya berita-berita atau isyarat-isyarat ilmiah dari Al Qur’an.
1. Misalnya dalam dunia Astronomi, tentang sumber cahaya Matahari dan Bulan yang berbeda
QS Yunuus ayat 5: Dialah yang menjadikan Matahari bersinar (bersumber dari dirinya sendiri) dan Bulan bercahaya (memantulkan dari cahaya Matahari) dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak/benar [1]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Maka, Matahari adalah cahaya (diya’) dan Bulan adalah sebagai pelita (nur)
Manusia dengan tingkat pengetahuan sederhana pada jaman Rasulullah SAW, dapat dengan mudah menerima perbandingan sederhana antara Matahari dan Bulan ini, dengan kalimat-kalimat sederhana ini.
Namun kalimat—kalimat sederhana inipun dapat berarti dalam di lingkungan ilmu-pengetahuan, dapat diterima oleh bahkan para ahli ilmu-pengetahuan bahkan di luar komunitas Rasulullah SAW dan yang hidup berabad-abad kemudian, yang sangat senang mengunakan ilmu-pengetahuan sains modern/posmodern untuk memahami segala sesuatu.
Inilah juga yang sangat menarik dan perlu dicatat di sini, tentang adanya suatu keagungan perbandingan, dan tidak adanya dalam Al Quran perbedaan makna perbandingan berkaitan dengan adanya perubahan jaman, yang mungkin menunjukkan keagungannya pada waktu Al Qur’an turun, namun yang pada saat ini hanyalah dapat dipandang sebagai khayalan tidak ilmiah belaka, sebagaimana dapat dan telah terjadi pada kitab-kitab sebelumnya.
Ayatnya :QS Nuh ayat 15-16: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya Bulan sebagai cahaya dan menjadikan Matahari sebagai pelita?
2. Atau juga tentang orbit Matahari dan Bulan
QS Al Anbiyaa ayat 33: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, Matahari dan Bulan, masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.
Kata ”Yasbahuun” dalam ayat ini, berasal dari kata ”sabaha” yang makna kata secara tradisionalnya adalah ”gerakan dari sesuatu yang bergerak”, yang dalam hal ini, dalam kaitannya dalam kaidah ilmu ruang angkasa ini, adalah tentang penggambaran pergerakan/rotasi dirinya (planet Bulan dan Matahari itu) dalam aksisnya sendiri.
Sebagai informasi-informasi tambahan dari disiplin ilmu Astronomi dan Sejarah serta Kekristenan, saat ini manusia sudah jamak mengetahui bahwa Matahari membutuhkan 25 hari untuk menuntaskan rotasinya dan Bumi mengelilingi Matahari. Namun baru pada tahun 1512 Masaehi, Nicolaus Copernicus mengemukakan Teori Heliosentrisnya tentang letak Matahari yang dikelilingi planet yang bergerak dalam jalurnya masing-masing, dan saat itu pengumuman temuan ini ditentang habis-habisan oleh Gereja, juga menjadikan Copernicus dikucilkan, bahkan sebagian kalangan menyebutkan bahwa ia dikafirkan mereka.
Barulah pada abad-abad modern ini, sekitar 500 tahun kemudian, Vatikan kemudian bersedia mengakui kebenaran teori Copernicus dan kesalahan klaim Gereja berdasarkan Injil itu, yang memaknakan bahwa Mataharilah yang bergerak mengelilingi Bumi (antara lain di Joshua 10:12-13), bukan sebaliknya, yang jelas sangat bertentangan dengan ilmu-pengetahuan.
Sebagai pendukung materi pembahasannya, berikut adalah sebuah kutipan dari Injil versi internasional (King James Version) dan komentar tentang kesalahannnya yang dikutip dari sebuah situs tentangnya, yang bernama ”The Dark Bible” (dengan alamat http://www.nobeliefs.com/darkbible/darkbible/ ), sebuah situs yang mengupas tentang berbagai kesalahan dan ketidakmasukakalan Injil. Pembuat situs ini adalah Jim Walker, seorang Barat yang Atheis (orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan) yang dulunya penganut agama Kristen.
Heliocentric Vs Geocentric?
The Sun Stands Still
“Then spake Joshua to the LORD in the day when the LORD delivered up the Amorites before the children of Israel, and he said in the sight of Israel, Sun, stand thou still upon Gibeon; and thou, Moon, in the valley of Ajalon. And the sun stood still, and the moon stayed, until the people had avenged themselves upon their enemies. Is not this written in the book of Jasher? So the sun stood still in the midst of heaven, and hasted not to go down about a whole day.” (Joshua 10:12-13)
Comment:
These verses imply that the sun moves around the earth.
If the Bible actually represents the words or inspired words of God, then why didn’t the Great Creator inspire them to tell the truth about the universe and our solar system?
Also, the Bible asks us to believe that a supposedly loving God made the sun stand still for the sole purpose of helping the Israelites slaughter the Amorites.
How can one not see that these verses would insult the intelligence of any person who believes God possess wisdom, knowledge and love?
Maka, beberapa hal dalam Injil ini, sangat bertentangan dengan ilmu-pengetahuan, dan dengan Al Quran.
3. Atau tentang tidak bercampurnya air laut yang asin dengan air sungai-sungai besar, misalnya yang terjadi di muara, dan bahkan antara dua aliran air laut.
Ini dapat ditemukan di berbagai belahan dunia. Pencampuran keduanya pun tidaklah terlaksana seketika melainkan memerlukan waktu.
QS Al Furqaan ayat 53: Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.
QS Ar Rahmaan ayat 19-22: Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing (*) Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.
[*] Di antara ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa makna ”la yabghiyan” maksudnya adalah bahwa ”masing-masing, tidak menghendaki”. Dengan demikian, maka maksud dari ayat 19-20 adalah bahwa terdapat dua (jenis) laut yang keduanya ’terceraikan’ karena dibatasi oleh tanah genting, tetapi tanah genting itu tidaklah dikehendaki atau tidak diperlukan. Maka akhirnya, tanah genting itu dibuang (digali untuk keperluan lalu lintas), dan bertemulah dua lautan itu, seperti misalnya yang terjadi pada terusan Suez dan terusan Panama.
Dan lain-lain ayat serupa.
4. Tentang api di dasar laut
QS Ath Thuur ayat 6 (52:6): Dan laut yang di dalam tanahnya ada api.
Ayat diatas, diartikan beragam, misalnya oleh Prof Dr Quraish Shihab Ulama Indonesia terkenal dalam bukunya tafsir al Mishbah hanya disebutkan “dan laut (bahri) yang bergelombang (masjuur)”, sedangkan pada al Qur’an Terjemah Indonesia yang disusun Tim Disbintalad tahun 1996 diartikan lebih lengkap “ Laut yang mendidih dan bergelombang”. Lebih khusus adalah arti pada Al Qur’an Dan Terjemahnya dari Yayasan Kerajaan Saudi Arabia di Medinah tahun 1990, diterjemahkan “ dan Laut yang tanahnya ada api”. Demikian juga berbeda, pada buku The Holy Qur’an edisi bahasa Inggris. Abdullah Yusuf Ali menterjemahkan sangat sederhana “ And by the Ocean Filled with Swell” atau “ Dan samudera yang dipenuhi oleh gelombang ”, Disini laut menjadi samudera – tapi tidak apa-apa, karena karakternya serupa. Sedangkan John Medows Rodwell (dikenal sebagai penterjemah pertama kedalam bahasa Inggris) pada The Koran edisi 1971 – banyak dijual di bandara-bandara Internasional – menterjemahkan dengan kalimat “ And by the swollen Sea”.
Prof Dr Quraish Shihabpun yang ahli bahasa Arab sebenarnya telah menjelaskan, bahwa arti kata “masjuur” ada dua pengertian: (1) Bergelombang dan (2) Tanah berapi atau kobaran api. Dengan demikian, seharusnya lebih spesifik bermakna “ ada kobaran api dasar laut atau samudera” atau “ tanah berapi didasar laut”. Namun karena ini tidak umum, barangkali dianggap aneh dan sulit untuk dijelaskan kepada pembaca maka beliau lebih suka dengan kalimat terjemahan “ dan Laut yang penuh gelombang”. Tidak ada makna apa-apa selain menjelaskan apa yang biasa dilihat di laut atau samudera, gelombang air yang besar.
Namun demikian para penafsir lain, tidak puas dengan hanya “bergelombang” dan “kobaran api”, oleh karena itu dapat dipahami jika ditemukan beberapa penjelasan antara lain:
(1) Fenomena itu adalah fenomena pada saat terjadinya Kiamat (as sa’ah), dihubungkan dengan keterangan ayat-ayat lain, misalnya pada surat at Takwiir (Menggulung/Padam) yaitu “ Dan apabila laut diluapkan (sujjirat)”. (Qs, 086:006)
(2) Penafsir klasik atau bahkan sejumlah guru agama di Indonesia menyimpulkan, dengan dasar keterangan Kitab Mulia tadi – bahwa lokasi Neraka mungkin di bawah laut, atau didasar Bumi. Bisa dipahami, cara berpikirnya, karena ada kobaran api didasar samudera/laut, tentunya, lokasi tersebut Neraka.
Bagaimanapun juga, sebagian ilmuwan Muslim dunia pada akhir abad ke-20 tidak puas dengan keterangan tersebut, karena cukup jelas artinya “ada kobaran api didasar Samudera” atau “ ada lokasi dimana tanahnya berapi didasar Samudera”. Dengan demikian, memang yang dimaksud dengan “masjuur” adalah “tanah berapi” atau “kobaran api” didasar samudera/laut, yang memang mungkin ada di dalam (atau di dasar) lautan.
5. Atau tentang Reproduksi manusia itu sendiri
QS Al Hajj ayat 5: Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari ’segumpal darah’/’sesuatu yang melekat’, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
Lalu, setidaknya, kata ”Al ’Alaq” seperti di ayat ini disebutkan dalam 4 ayat lain yang membicarakan transformasi urut-urutan reproduksi manusia sejak tahap setetes sperma:
QS Al Mu’minuun ayat 14: Kemudian air mani itu Kami jadikan Al ’Alaq, lalu itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
QS Al Mu’miin ayat 67: Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari Al ’Alaq, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).
QS Al Qiyaamah ayat 37-38: Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi Al ’Alaq, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya,
Maka, khusus perihal kata ”Al ’Alaq” ini, secara tradisional, penerjemahan Al Qur’an kuno/tradisional, seringkali kata ini ditafsirkan/diartikan saja sebagai ”segumpal darah” oleh berbagai mufassir/penafsir. Dan ini jamak dijumpai di berbagai terjemahan bahkan tafsir Al Qur’an di seluruh dunia.
Jika kata itu mutlak diartikan “segumpal darah”, hal ini tidak masuk akal karena tidak pula sesuai dengan ilmu pengetahuan tentang proses reproduksi manusia. Mengapa? Karena sesunguhnya ilmu pengetahuan reproduksi manusia mengkonfirmasikan bahwa tidaklah pernah manusia tercipta melalui tahapan ’gumpalan darah’, dalam rangkaian tahap reproduksinya.
Maka, derajat keotentikan Al Quran dalam hal ini pun (jika tetap memakai terjemahan kata ”segumpal darah”) jelas telah gugur, dan manusia serta makhluk lain yang membaca Al Qur’an dapatlah saja menjadi kafir bahkan murtad karenanya, karena menganggap penciptaan manusia yang demikian, tidak sesuai dengan ilmu-pengetahuan.
Jika memang benar demikian, ini BERBAHAYA, dan sekaligus tentu saja tidak sepatutnya, karena Al Qur’an adalah dari Tuhan Semesta Alam.
Namun, Tuhan Semesta Alam lah yang memang menjaganya. Dan Al Quran tentu saja tetap benar sebagai petunjuk sepanjang jaman.
Penjelasannya, jika kita menilik kepada ilmu reproduksi ini sendiri, ternyata menetapnya telur dalam rahim, terjadi karena tumbuhnya jonjot (villosities) atau perpanjangan telur yang akan mengisap dari dinding rahim, zat yang diperlukan untuk membesarnya telur, seperti layaknya akar tumbuhan yang masuk ke tanah. Pertumbuhan semacam ini mengokohkan telur dalam rahim.
Atau, ketika sperma dari laki-laki bergabung dengan sel telur wanita, intisari bayi yang akan lahir terbentuk. Sel tunggal yang dikenal sebagai “zigot” dalam ilmu biologi ini akan segera berkembang biak dengan membelah diri hingga akhirnya menjadi “segumpal daging”. Tentu saja hal ini hanya dapat dilihat oleh manusia dengan bantuan mikroskop.
Namun, zigot tersebut tidak melewatkan tahap pertumbuhannya begitu saja. Ia melekat pada dinding rahim seperti akar yang kokoh menancap di bumi dengan carangnya. Melalui hubungan semacam ini, zigot mampu mendapatkan zat-zat penting dari tubuh sang ibu bagi pertumbuhannya. (Moore, Keith L., E. Marshall Johnson, T. V. N. Persaud, Gerald C. Goeringer, Abdul-Majeed A. Zindani, and Mustafa A. Ahmed, 1992, Human Development as Described in the Qur’an and Sunnah, Makkah, Commission on Scientific Signs of the Qur’an and Sunnah, s. 36)
Inilah yang layak disebut, diterjemahkan korelatif sebagai ”sesuatu yang melekat” (Al ’Alaq).
Makna yang lebih tepat dari kata ”Al Alaq” karenanya adalah, ”sesuatu yang melekat”, yang, saat manusia belum dapat mengetahui jalannya proses reproduksi (manusia) ini, pemakaian kata ”sesuatu yang melekat” daripada kata ”segumpal darah”, terlihat lebih tidak masuk akal bagi para mufassir tradisional; padahal sesungguhnya justru sebaliknya. Dan sekali lagi, pengetahuan manusia tentang ini baru didapatkan manusia pada jaman modern, berabad-abad sesudah Al Quran diturunkan.
Tidaklah mengherankan kiranya, betapa banyak para penerjemah tradisional yang sewajarnya tidak (banyak) mengetahui kaidah ilmu kedokteran, secara mudahnya menerjemahkan kata ”Al ’Alaq” ini sebagai ”segumpal darah” saja, dalam ayat-ayat itu. Penerjemahan seperti itu, terlihat cukup masuk akal di saat itu, mereka sungguh telah berusaha sebaik-baiknya dengan segala pengetahuan yang mereka miliki, dan tentulah kesalahan manusiawi ini dapatlah dimaafkan, tinggal bagaimana sebaiknya ke depan.
Tidaklah mengherankan kiranya, betapa berabad-abad lalu, banyak para penerjemah dan mufassir (penafsir) tradisional yang sewajarnya tidak (banyak) mengetahui kaidah ilmu kedokteran, secara mudahnya menerjemahkan kata ”Al ’Alaq” ini sebagai ”segumpal darah” saja, dalam ayat-ayat itu.
Penerjemahan seperti itu, terlihat cukup masuk akal di saat itu, mereka sungguh telah berusaha sebaik-baiknya dengan segala pengetahuan yang mereka miliki, tentulah kesalahan manusiawi ini dapat dimaafkan, tinggal bagaimana baiknya ke depan.
Dan bagaimanapun tafsirnya, Al Quran tetap tuntunan kehidupan terbaik dari Sang Pencipta Alam.
Dan di antara faktor rumitnya memahami maksud sesungguhnya dari Al Quran, adalah bahwa setidaknya saja para penerjemah atau mufassir (penafsir), memiliki pengetahuan di bawah ini dalam menafsirkannya:
1. Ilmu Lugath (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa), yaitu ilmu tata bahasa, misalnya mengetahui alternatif i’rab (bacaan akhir kata) dari setiap kata atau kalimat, karena i’rab yang berbeda akan mempengaruhi artinya
3. Ilmu Sharf (perubahan bentuk kata). Sangat pentinglah mengetahui ini, karena perubahan sedikit bentuk kata akan mengubah arti kata tersebut.
4. Ketiga ilmu di bawah ini digolongkan cabang ilmu Balaghah yang sangat penting diketahui para ahli tafsir:
a. Ilmu Ma’ani (hakikat makna dari suatu kata). Dengan mengetahui hakikat maknanya, maksud dari suatu ayat dapat diketahui.
b. Ilmu Bayaan. Ilmu yang mempelajari kelugasan dalam untaian kata atau kalimat.
c. Ilmu Badi’. Ilmu yang mempelajari keindahan bahasa.
5. Ilmu Qira’at. Sebagaimana diketahui, Al Quran diturunkan oleh Allah dalam tujuh huruf (sab’ati Ahruf). Para ulama menguraikan, bahwa hal ini adalah keragaman cara baca Al Quran yang semuanya bersumber dari Nabi SAW. Setiap cara membaca ini, satu dan lainnya saling melengkapi. Dan ini merupakan mukjizat tersendiri dari Al Quran .
6. Ilmu Aqa’id. Ilmu yang mempelajari dasar-dasar keimanan.
7. Ilmu Ushul Fiqih. Dengan ilmu ini dapat diambil dalil serta penggalian hukum dari suatu ayat.
8. Ilmu Asbabun-Nuzul. Ilmu untuk menguraikan tentang sebab-sebab turunnya suatu ayat. Pengetahuan tentang asbabun-nuzul suatu ayat akan sangat membantu dalam memahami kandungan dan maksud dari ayat tersebut.
9. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih berlaku.
10. Ilmu Fiqih. Dengan mengetahui hukum-hukum yang rinci akan mudah diketahui hukum globalnya.
11. Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui Hadits-hadits yang menafsirkan ayat-ayat Al Quran .
Khusus sedikit mengenai buku ”Al Quran Bible dan Sains Modern” (ditulis oleh DR Maurice Bucaille dan adalah sebuah best-seller, serta sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia), di dalam buku ini juga dimuat kritik terhadap cara dan hasil penerjemahan Al Qur’an sendiri yang dapat menjadikannya bermakna sempit dan kehilangan banyak keagungan, kebenaran dan keindahannya (dan juga sebagai akibat dari penyebaran kaidah-kaidah Islam yang tidak dilakukan dengan baik). Hal ini menurutnya dapat terjadi karena kurangnya pemahaman etimologi bahasa dan ilmu pengetahuan ilmu serta teknologi dari para penerjemahnya; dan kemudian menyebabkan ‘reaksi berantai’ penyampaian isinya yang juga ‘terdistorsi’, menjadi terganggu.
Contoh lebih jelasnya adalah, seseorang insya Allah SWT akan dapat dengan tepat mengungkapkan kandungan kebenaran ilmu kedokteran dan manusia di dalam Al Quran bila ia mengetahui dengan baik makna dan aturan etimologi bahasa Arab tersebut, sekaligus kaidah-kaidah ilmu kedokteran. Hal yang sama juga berlaku terhadap pengajian (interpretasi) ayat-ayat Al Quran yang berkenaan dengan berbagai macam ilmu-pengetahuan/sains lain, seperti astronomi, fisika, biologi, kimia, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Maka, dasar-dasar pengetahuan itu tentu sebaiknya juga harus dimiliki bila hendak mengetahui dan menerangkan kaidah ilmu-ilmu yang terkandung dalam Al Furqan.
Hal-hal ini semua tak mungkin kiranya dimiliki banyak penerjemah Al Qur’an secara perseorangan, yang setiap orang dituntut harus menguasai sedemikian banyak ilmu pengetahuan yang terkandung dalam Al Qur’an agar dapat benar-benar menerjemahkannya sesuai maksud aslinya, selain pengetahuan bahasa Arab sendiri yang sudah cukup rumit tata bahasanya.
Akhirnya, antara lain dengan menyadari hal-hal ini berdasarkan hidayah (pencerahan atau wahyu dari) Allah SWT, DR. Maurice Bucaille pengarang buku tersebut, kemudian menjadi muslim/mualaf dengan suka rela, dan lalu aktif menjadi da’i (pendakwah) internasional. Bahkan pada beberapa tahun silam, seri rekaman acara dakwah yang menghadirkan dirinya hampir tiap malam ditayangkan di Indonesia melalui stasiun TV Indonesia, TPI, di larut-larut malam.
Maka di sini pulalah perlunya untuk berjama’ah, berorganisasi, dan dengan sendirinya melakukan manajemen yang baik dalam melakukan kebaikan (dan dalam hal ini adalah dalam melakukan penerjemahan dan penafsiran ini agar dapat benar-benar mengetahui dan mendapatkan nikmat Allah SWT di tahap-tahap berikutnya).
Berjama’ah dalam kebaikan itu, tentu saja adalah sunnatullah sebagaimana disebutkan di QS Ash Shaff, khususnya ayat 4. Sahabat, ipar, dan menantu Rasululullah SAW, sang Khalifah Keempat Ali bin Abi Thalib R.A. juga berkata, ”Kejahatan yang diorganisasikan dengan baik, akan dapat mengalahkan kebaikan yang tidak diorganisasikan dengan baik”.
Maka pantas pulalah kiranya bila para penerjemah-penafsir yang mengerti ilmu Kedokteran harus menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu Kedokteran dengan mengkorelasikannya dengan segala kaidah ilmu kedokteran sesuai keahliannya, para penerjemah-penafsir yang mengerti ilmu Fisika harus menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu kedokteran dengan mengkorelasikannya dengan segala kaidah ilmu Fisika sesuai keahliannya; demikianlah seterusnya berkenaan dengan berbagai ilmu-pengetahuan sains dan teknologi lain yang ada di dalam kendungan Al Qur’an, sehingga dapatlah didapatkan suatu gambaran yang menyeluruh, tentang apapun yang dimaksudkan oleh Kitab Suci ini. Dan bahkan di masa lalu, tak jarang para ahli ilmu-pengetahuan justru mendapatkan inspirasi untuk suatu titik kemajuan ilmu-pengetahuan baru, bahkan titik berhenti etisnya, setelah menelaah Al Qur’an dan berbagai hal berkaitan.
Maka penafsiran itu sendiri, seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan ilmu-pengetahuan manusia, tentu saja juga harus diperbarui setiap kali atau secara berkala, dicocokkan, dikorelasikan dengan segala perkembangan ilmu-pengetahuan; setidaknya karena ayat-ayat Allah tidaklah hanya yang Qauliyah (tertulis) namun juga yang Kauniyah (tidak tertulis/terhampar luas di alam semesta, dalam berbagai ilmu pengetahuan).
Keduanya, tentu saja, seharusnya, sewajarnya, adalah saling menguatkan, karena berasal dari Tuhan yang sama, Tuhan Semesta Alam, dalam sistem Manajemen Fitrahi Beliau. Jika tidak, maka Keduanya, tentu saja, seharusnya, sewajarnya, salah satu darinya adalah palsu.
Kemudian Bahasa Arab yang mempunyai kekayaan makna yang banyak untuk satu kata, sehubungan dengan ini semua, selain dapat menjadi sebab kesalahan pengartian, justru juga dapat menjadi kunci kekayaan pesan ilmu pengetahuan dan berbagai kemungkinan penafsirannya, yang satu sama lain dapat mempunyai keistimewaan sendiri, fleksibel bahkan seiring dengan perkembangan kemampuan berpikir/ilmu-pengetahuan manusia dan jin, serta saling mendukung; dalam sistem besar Allah SWT dalam Manajemen Fitrahinya ini. Sementara sebagaimana telah pula diperintahkan dalam Al Qur’an tentang pernyataan Allah SWT bahwa manusia tak mungkin dapat menembus dan menggunakan rahasia langit dan bumi kecuali dengan ilmu pengetahuan (sulthan, QS Ar Rahmaan), penyelarasan hubungan antara agama dan ilmu-pengetahuan kemudian membentuk suatu hubungan yang istimewa dan saling menguatkan serta bersintesa sehingga penafsiran kata-kata Al Qur’an pun menjadi sedemikian lebih kaya arti. Wallahu ’alam bis sawaab.
Menurut saya, ini pulalah kiranya salah satu hikmah maksud penyampaian Islam dan Al Qur’an dalam bahasa Arab, selain memang disampaikan melalui umat Bani Arab (yang tentu saja pada dasarnya berbahasa Arab) yang juga merupakan keturunan Nabi Ibrahim AS selain Bani Israil yang melalui mereka telah diutuskan banyak Nabi dan Rasul, dengan alasan-alasan yang hanya Allah SWT yang lebih mengetahuinya.
Maka, sangat penting menaati Allah SWT dan Rasulnya, karena yang diturunkan Allah SWT kepada manusia dan jin, seluruh makhluk, seluruh alam semesta, adalah rangkaian dari pesan yang satu:
QS Al Mu’miin ayat 52: Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu [*], dan aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.
[*] Lihat juga QS Al Anbiya 92:
QS Al Anbiyaa ayat 92: Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu [#] dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku.
[#] Maksudnya: sama dalam pokok kepercayaan dan Syari’at.
QS Al Baqarah ayat 136: Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim (Abraham) , Isma’il (Ishmael), Ishaq (Isaac), Ya’qub (Jacob/Israel) dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa (Moses) dan Isa (Jesus) serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.
QS Al Baqarah 208: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam (Sistem Manajemen) Islam (secara) keseluruhan (total, tidak setengah-setengah dengan istiqomah dan konsekuen agar tidak bermasalah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
QS Al Baqarah 256: TIDAK ADA paksaan untuk (memasuki) agama (sistem Manajemen Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [162] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
[162] Thaghut ialah Syaithan dan apa saja yang disembah, diikuti cara-caranya, pemikirannya, selain dari Allah SWT
QS Ash Shaff 2-4: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh ( = DENGAN MANAJEMEN & BERSAMA-SAMA).
QS Asy Syuaraa ayat 13: Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama [*] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
[*] Yang dimaksud: agama di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya.
QS Al Hijr ayat 10-11: Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus (Beberapa Rasul) sebelum kamu kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tidak datang seorang Rasulpun kepada mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.
Sesungguhnya bermula datangnya Islam dianggap asing (aneh) dan akan datang kembali asing. Namun berbahagialah orang-orang asing itu. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud orang asing (aneh) itu?” Lalu Rasulullah menjawab, “Orang yang melakukan kebaikan-kebaikan di saat orang-orang melakukan pengrusakan.”(HR. Muslim)
Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian (ada) orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdo’a dan tidak dikabulkanlah (do’a mereka). (HR. Abu Zar)
Barangsiapa ingin agar do’anya terkabul dan kesulitan-kesulitannya teratasi hendaklah dia menolong orang yang dalam kesempitan. (HR. Ahmad)
Bila orang-orang melihat seorang yang zalim tapi mereka tidak mencegahnya dikhawatirkan Allah akan menimpakan hukuman terhadap mereka semua. (HR. Abu Dawud)
TELAAH KOMPREHENSIF
Lalu dengan telaah Analisa Sistemik, Antropologi, Sejarah, Filsafat, dan Manajemen saja; diketahui banyak manusia telah pula (terlanjur) percaya berbagai pemikiran manusia (dari Barat), yang ternyata berubah-ubah intinya.
Setidaknya sejak Filsafat Sofistik Yunani Kuno sebelum Masehi (bertokohkan Thales, Zeno, Socrates, Plato, Aristoteles; selain Ilmuwan-Filsuf Pythagoras, Ptolemeus, Hipocrates, Euclides, dsb.) yang walaupun berbenih cara berpikir kritis namun yakin bahwa ”Kebenaran itu relatif” bergantung pemikirnya (misalnya perdebatan tentang inti alam semesta antara mereka); kiranya karena tak cukup ilmu-pengetahuan masanya sebagai tolak-ukur (pembanding).
Berlanjut ke Filsafat Abad Pertengahan (sekitar Abad V-XIV Masehi) bertokohkan Plotinus, Augustinus, Anselmus, Grosseteste, (Roger) Bacon, dsb.; didominasi oknum Gerejawan-Monarki Kerajaan Barat dengan motto Credo et intelligam atau ”Iman-keyakinan mutlak berada di atas pemikiran” yang percaya mutlak-dogmatis ‘rasa hati’ dan agama (Barat saat itu) tanpa boleh dikritik. Ini juga membuat kedudukan (kesejahteraan) oknum ningrat Monarki dan Gerejawan menjadi sangat tinggi sebagai pemegang mandat Otokrasi, tanpa mudah dikritik (bahkan semena-mena bagi sementara orang), dan pemikiran ilmu-pengetahuan berkembang lambat serta bukan sebagai tolak-ukur.
Ini dilawan Masa Renaissance sekitar Abad XIV-XVII Masehi (dari kata-kata Bahasa Perancis ”Re-Nasci” berarti ”kelahiran kembali” saat Barat menyadari dan berusaha mengejar ketertinggalannya daripada kegemilangan peradaban Timur/dunia Islam saat itu) dan juga Filsafat Masa Modern (masa selanjutnya hingga Abad XX Masehi) dengan dasar Filsafat Rasionalisme. Dan Reformasi Gereja pun terjadi, menghasilkan pemisahan Kristen menjadi Katolik dan Protestan.
Rasio atau Logika (semata-mata) adalah dasar dari Filsafat Modern ini, yang bermottokan ”Cogito ergo sum” atau ”aku (justru) ada (hidup) karena aku berpikir” (maka ”Semua harus diragukan dan dibuktikan akal-rasio logika dulu baru dapat dipercayai dan yang tak masuk akal, termasuk agama dab keberadaan Tuhan, adalah dapat absurd”), bertokohkan Descartes, Voltaire, Von Leibniz, Fichte, Schelling, (Francis) Bacon, Pascal, Kant, Hume, James, Kierkegaard, Sartre, bahkan Isaac Newton dan Thomas Aquinas, dsb. Menurut mereka, ini adaah ‘reaksi pembalasan’ wajar terhadap ketakmasuk-akalan Filsafat Abad Pertengahan sebelumnya; dan memang positif juga membuat telaah pemikiran kritis dan ilmu-pengetahuan merebak di Eropa.
Apapun juga, arus umumnya termasuk Materialisme (hanya percaya materi yang nyata, bukan ‘yang tak tampak’), Pragmatisme (menerima segala yang dianggap (manusia) berguna bertolak-ukur akal dirinya bukan standar agama(-Baratnya) dan oleh apapun ’yang tidak tampak’ tadi), juga Humanisme (percaya akal kemampuan manusia sebagai pengatur utama alam/kehidupan (bukan ’yang tak tampak’/ghaib)); dan semuanya otomatis meremehkan Ketuhanan beserta ajarannya termasuk ‘konsep’ konsekuensi pertanggungjawaban di Akhirat yang seakan ’tak nyata dan tak logis’ itu.
Dan muncullah gerakan Sekulerisme, memisahkan atau meminimasi peran agama (-agama yang dikenal Barat) dari manajemen kehidupan sehari-hari setelah Abad Pertengahan didominasi oknum Agamawan plus Monarkinya (Barat saat itu mengenal Yahudi dan Katolik, ditambah Protestan hasil Reformasi Gereja kemudian), mengakibatkan agama dogmatis (yang dikenal Barat) jamak dianggap tak masuk akal dan merusak, dipinggirkan dari keseharian (tanpa banyak mengingat ’sisa maksud baik’ agama-agama itu). Hukum pemikiran Sekuler Barat pun menggantikan hukum Agama Barat, Agama hanya pelengkap seremonial yang tak cukup berhak mengatur kehidupan, dan kata ’Tuhan’ digantikan kata ”alam” (nature).
Semangat mencari kebebasan ini menemui momentumnya seiring Revolusi Industri Inggris Abad XVIII-XIX Masehi dengan Modernisme, perubahan peradaban berdasarkan perhitungan Akal-rasio. Dibantu ditemukannya ’Dunia Baru’ Benua Amerika 1492 Masehi sebelumnya, perbudakan Modern sejak budak Afrika didatangkan 1675 Masehi di Amerika, juga Doktrin Manifest Destiny 1840 Masehi ’merestui’ penguasaan orang kulit putih atas Dunia Baru itu dan genocide ras Indian Amerika; perlahan-lahan lepaslah rakyat kebanyakan Eropa dari hirarki Monarki (terutama dari Monarki Kerajaan Britania Raya Inggris), dan berpindah ke Amerika.
Lalu, merasa sebagai kaum yang maju-Modern, semangat ini diekspor ke seluruh dunia bersamaan eksplorasi (penjajahan) a la Barat. Dan apapun ’agama-peradaban baru’ non-Barat yang dikenal Barat kemudian (misalnya saat bertemu peradaban Islam dan Sistem Ekonominya), disamaratakannya, dipinggirkannya dari kehidupan Modern (karena menurut mereka, Agama apapun dan peradabannya adalah ‘kuno, takhayul dan tidak ilmiah’), bahkan dari kehidupan masyarakat ’asli’ Agama itu sendiri, dalam Clash of Civilizations, perbenturan antar berbagai Peradaban ini (meminjam jargon Buku terkenal berjudul sama Samuel P. Huntington).
Menyadari ada yang hilang dari Rasionalisme-Modernisme-Kapitalisme ini, sejak akhir Abad XIX Masehi, muncullah perlawanan Sosialisme (meminimasi perbedaan distribusi kesejahteraan terutama secara ekonomis-komunal) dan Komunisme (menyamaratakan kewajiban dan hak sosial bahkan tahap tertentunya mencakup Atheisme, ketakpercayaan akan Tuhan, reaksi terhadap sistem Agama-peradaban Barat yang dianggap Komunis sebagai akar masalah) dengan tokoh Marx.
Bahkan arus baru ini dalam Teologi Modern menjadi Gnostisme (cara pandang kritis baru agama Barat) dan Neo-Atheisme (bentuk baru ketakpercayaan terhadap Tuhan). Semangat Filantropisme (berderma) Modern mengoreksi Kapitalisme juga, ternyata tidak cukup menyelamatkan karena selain terlambat, kurang, juga umumnya egoistis untuk (kepentingan) sekutunya (sebagai negara industri-maju, sumbangan AS untuk kemanusiaan dunia di bawah negara-negara maju Skandinavia, bahkan masih jauh di bawah Arab Saudi yang bukan negara maju).
Akal sendiri diciptakan sebagai alat yang bekerja sesuai kemampuannya, maka jika Akal bekerja melebihi batasnya, menjadi zalim (tak adil, dhalim), kesimpulan yang ditariknya dapat membingungkan, terutama bila mengenai hal (ghaib) tak terjangkau Akal. Maka, sangat pentinglah berpegang kepada petunjuk Sang Pencipta.
Potensi Akal dan Hati (bagi sebagian adalah pertempuran Ilmu vs Agama, berpemahaman Agama versinya) seharusnya tak bertentangan, karena berasal dari Penyebab Segalanya (Tuhan), naluriah-kodrati. Bila bertentangan, pendekatan atau penafsiran salah satu atau keduanya darinya adalah salah, dan akibatnya buruk, membahayakan, menjadi tidak sesuai fitrah.
Bagi Muslim terdidik, penelaahan dengan jalur Akal dan Hati, Pemikiran dan Iman, Filsafat dan Agama, menjadi tak saling bertentangan, bahkan saling menguatkan. Pemanfaatan seluruh anugrah potensi manusia (Akal, Hati, Indera, dan sebagainya) menjadi maksimal dan seimbang, adil, juga selaras dengan alam, manusia berada di ‘tengah-tengah’ dan menikmati potensi dunia serta akhirat. Dan keseimbangan pun tercapai.
QS Al Qashash ayat 77 (28 :77): Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahannya (yang adil atau tidak berlebih-lebihan). (HR. Al-Baihaqi)
Berlawanan dengan maksud pembagian orang Sekuler dan Barat serta Ahlul Kitab yang memisahkan Akal (pemikiran) dan Hati (agama), sehingga mungkin saja ilmuwan menjadi tak beriman (terutama karena agama yang dikenalnya mungkn saja adalah agama yang tak dapat diterima akal dan perasaan), dalam Islam, orang berakal adalah orang yang beriman.
Salah satu makna Islam, adalah sebagai (sistem) Manajemen. Bahkan salah satu makna agama, adalah Manajemen. Karenanya, yang sempurna adalah Sistem Manajemen Lengkap (Agama) Fitrahi dari Tuhan Yang Maha Esa, Majikan Yang Kekal, yaitu Agama yang telah diridhaiNya ini, Islam, dan tidak memisahkan telaah Akal dan Hati (termasuk indera dan berbagai macam potensi manusia lain yang mungkin bahkan belum diklasifikasikan manusia):
Adanya Filsafat Modern dulu, dimaksudkan untuk ’membebaskan manusia’ dari hal-hal tidak masuk akal dan tidak adil jaman Monarkis Abad Pertengahan Barat (disebut juga Middle Age, Medieval Era atau Dark Age) sebelumnya, dan memang juga melahirkan Ekonomi Modern Kapitalisme-Pasar Bebas ala kebebasan Barat yang kemudian sempat mendominasi dunia, dianggap baik, namun sudah pula degradatif dan terjerembab menghasilkan Krisis Multidimensi sangat buruk saat ini. Sebagaimana hukum “Butterfly Effect” saja (atau dapat pula melalui telaah kaidah Chain-Reaction atau Reaksi Berantai dan ”Domino Theory” saja, misalnya), dimana hal yang dilakukan seseorang (atau sesuatu) akan mempunyai pengaruh kepada orang-orang (atau benda-benda) lain (menjadi reaksi berantai), demikian pula hasil yang akan dirasakan oleh setiap elemen kehidupan bila salah satu saja elemen lain di sekitarnya melakukan atau dikenakan terhadapnya, suatu perubahan.
Ini adalah jelas, bila kita mengacu bahwa sesungguhnya hanya ada satu Tuhan sebagai Causa Prima atau Penyebab, Sumber (dan sekaligus Penghubung) Segalanya. Tidak ada hal yang tidak cukup dianggap untuk tidak berhubungan kiranya di dunia.
Bila anda seseorang yang mempelajari ilmu Statistika, Matematika, Teknologi Informasi khususnya dalam teknologi Pemrograman dan berbagai hal ilmu terkait misalnya Ilmu Pengambilan Keputusan, lebih mudahlah memahami hal-hal ini dalam kaidah ilmu Pemrograman (dan Probabilitas) “if A – then B – else C – else D – else E … (jika mengambil/telah diambil pilihan A, maka konsekuensi yang mengikutinya adalah B atau C atau D atau E atau … dan seterusnya)”. Dan karenanya, ternyata ada pilihan-pilihan dan segala hal yang menyertainya, misalnya konsekuensinya. Jadi, ini adalah kaidah sunnatullah (hukum Tuhan Yang Maha Esa): manusia diberikan pilihan untuk menyikapi kehidupannya, dan manusia juga berperan dalam ‘menentukan’ hasil akhirnya.
Sementara itu, satu Abad lebih sebelumnya sekitar 1880 Masehi, Filsuf Friedrich Nietszche menegaskan bahwa Peradaban Masa Modern telah salah arah, di tengah optimisme kepercayaan umum akan benarnya arah pembangunan Masa Modern, dan karenanya Nietzsche juga lama dihujat kalangan Modern Sekuler Barat. Kini, semua dilawan-seimbangkan dengan ‘jalan-tengah’ Filsafat Masa Pos-Modernisme (New Age, ’back to nature’), mendekonstruksi Filsafat Modernisme sebelumnya agar manusia lebih beradab, kembali ke/selaras dengan sifat alami-kodrati dengan menelaah Akal dan Hati lebih seimbang, bahkan mendekat ke spiritualistis-religi. Dan Nietzsche (walaupun terlanjur frustasi tak percaya Tuhan), dianggap inspirator Masa Pos-Modernisme kini yang antara lain diteruskan Capra dan Kuhn.
Dan pemahaman Pos-Modernisme, Back To Nature, New Age, dan sebagainya ini; semakin mengakui adanya kekuatan luar biasa di luar ‘kekuatan’ manusia, yang bagi orang-orang beriman, SEDARI DULU disebut sebagai Tuhan.
Maka telah pula disebutkan 31 kali dalam Al Qur’an Surat Ar Rahmaan: “Dan (maka) nikmat Tuhanmu mana lagi yang engkau dustakan?”
Apapun, sejak dunia banyak dipimpin (didominasi) Barat dengan segala pahamnya (misalnya seperti disebutkan di atas), kini kita menderita pemanasan iklim Global Warming terutama sejak Masa Industri Jaman Modern (karena kepentingan ekonominya, AS di bawah George W. Bush masih tidak menyetujui perjanjian penyelamatannya, Kyoto Protocol, yang sudah diratifikasi ratusan negara lain), Polusi parah (entah mengapa kini, terutama di AS, orang sangat sulit mendapatkan mobil listrik ramah lingkungan bahkan buatan AS sendiri, justru bukan karena tinggi atau rendahnya permintaan), 61827 hulu ledak Rudal Nuklir sisa akhir Perang Dingin AS vs Uni Soviet (USSR) per 1989 Masehi, ketidakseimbangan penguasaan sumberdaya (AS berpenduduk 4-5% dunia, menguasai sekitar 25% sumberdaya dunia), persentase kemiskinan meningkat (rasio pendapatan 1/5 penduduk negara-negara terkaya terhadap pendapatan 1/5 penduduk negara-negara termiskin meningkat, 30:1 pada 1960 Masehi menjadi 74:1 pada 1995 Masehi saja), 200 perusahaan terkaya dunia mendapatkan rata-rata kenaikan keuntungan sekitar 350% sejak 1983 Masehi (gabungan penjualan mereka lebih tinggi daripada gabungan Gross Domestic Product seluruh negara kecuali 10 negara terkaya) yang sekitar 8000 perusahaan beraset lebih 5 milyar USD dimiliki AS (Inggris sekitar 3000 perusahaan, Jerman sekitar 800 perusahaan, Jepang sekitar 400 perusahaan) sampai Krisis 2008 Masehi
Juga krisis moral-akhlak dan akidah, AIDS dan ‘penyakit-penyakit aneh baru’, sekitar 1 milyar jiwa (Asia, Afrika, Amerika Latin) tidak mendapatkan akses ke air bersih (padahal hanya perlu sekitar 25% anggaran belanja Perang Luar Angkasa ”Star Wars” AS untuk ini), sekitar 30% populasi penduduk dunia tak berlistrik, 50% populasi penduduk dunia belum pernah berbicara melalui telepon, penyerbuan negara lain demi sumberdaya energi, penjajahan Palestina (Bani Israil-Yahudi dan organisasi Zionisnya didukung Deklarasi Blackstone 1891 AS, Balfour 1917 Inggris, dan Anglo-America Commitee 1946 Inggris-AS), Bubbles Economy, Great Depression, dan sebagainya; termasuk kenyataan bahwa perusahaan-perusahaaan multinasional, transnasional, global, leluasa ke mana-mana demi kepentingannya sementara Bank Dunia, IMF, Bank-bank lainnya, korporasi-korporasi dan pemerintah-pemerintah yang terlibat “bantuan” internasional, terus menceritakan bahwa kemajuan telah dicapai dengan segala alasannya; walaupun di bawah tren Global Paradox-Megatrend akan pentingnya berbuat lokal, berpikir global dan menguatnya sistem terkecil terhadap terbesar, independensi dalam interdependensi jaringan.
Apa tindakan kita?
Mengapa tak bergegas hijrah ke kebaikan di awal 1430 Hijriah (H) dan 2009 M ini? Janganlah kita semakin mengingkari nikmat Allah SWT berupa agama Islam ini: QS Ibrahim ayat 7 (14 :7). Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Marilah kita kembali ke Sistem Manajemen Tuhan, yang sedari awal jaman ada, namun sering diabaikan. Setidaknya karena betapapun jua hebatnya (pemikiran) manusia, tetap terbenar, adalah sistemNya.
Marilah berhenti bermain-main dengan Akal dan Hati.
Berapapun banyak pendapat dan pemikiran manusia, tetap yang paling benar adalah aturan Tuhan. Dan waspadalah terhadap yang tak senang dengannya, marilah kita berbuat bijaksana dan mengikuti tuntunan para Nabi dan Rasul dalam menyikapi permusuhan dan menegakkan kebenaran.
QS Al Baqarah ayat 145 (2:145): Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Dan mengenai berbagai daftar kemukjizatan Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dapat dinikmati di:
http://id.wikipedia.org/wiki/Mukjizat_Muhammad
(*) merupakan komentar Machicky Mayestino dalam Catatan (Notes) Syailendra Yunus di Facebook berjudul “PAHAMI WAKTU…, MAKA ANDA AKAN BERTEMU ALLAH”. Ini merupakan tanggapan Sdr. Mayestino atas komentar seseorang yang menggugat (baca: melecehkan) Tuhan
Wassalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh (dan semoga engkau selamat, damai sejahtera, dan semoga rahmat serta berkah Allah/Tuhan untukmu pula).
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh 22.33
0 comments:
Posting Komentar